Senin, 22 November 2010

Atasi Modal dengan Kemitraan

Pasar produk merchandise hingga kini masih menjanjikan. Sebagian besar konsumen adalah lembaga atau perusahaan. Di Jatim, terdapat ratusan bahkan ribuan perusahaan. Ini merupakan pasar yang sangat besar.

Ketua Asosiasi Perajin Jatim (APJ), Liliek Noer mengatakan, saat ini hampir semua perusahaan baik BUMN maupun swasta, serta pemerintahan memiliki logo, ikon, dan maskot, yang diwujudkan dalam bentuk produk untuk dipakai sendiri maupun sebagai souvenir.

“Inilah mengapa dikatakan pasar merchandise sangat besar. Mereka rata-rata akan memesan dua kali dalam setahun, yakni saat ulang tahun atau tahun baru. Belum lagi kalau ada even-even tertentu, dan volumenya cukup banyak,” jelas Liliek, Kamis (29/4).

Liliek mengungkapkan, di Jatim cukup banyak perajin skala UKM yang memproduksi merchandise. Namun tak banyak dari mereka yang mampu menembus segmen lembaga/perusahaan. Pasalnya, dibutuhkan kualitas dan kreativitas untuk bisa menjadi langganan mereka.

Akibatnya, perajin hanya mengandalkan pasar ritel dengan menawarkan produk yang umum dan banyak ditemui di pasar, seperti di pusat perbelanjaan atau di sejumlah objek wisata.

“Selama ini kreativitas mereka memang kurang untuk menciptakan produk yang inovatif serta beda. Dari sisi finishing juga kurang halus. Makanya mereka masih butuh bimbingan dan ini yang terus kita upayakan,” ulas pemilik Afiti Galery ini.

Di sisi lain, ia mencontohkan, pada pameran di Kinabalu, Malaysia, beberapa waktu lalu, pihaknya menerima order pembuatan merchandise berupa gantungan kunci yang menggambarkan orang membawa bola dengan memakai pakaian adat salah satu daerah di Malaysia.

Hanya saja, masalah klasik yang dihadapi kalangan perajin UKM, terbatasnya modal. Seperti diketahui, order dari perusahaan, lembaga, atau event organizer untuk momen tertentu jumlahnya cukup besar. Tak heran jika butuh modal besar untuk menyiapkan bahan baku dan upah pekerja.

“Ironisnya, pemesan hanya memberi uang muka dan surat pesanan. Bahkan banyak di antaranya yang tanpa uang muka sama sekali. Ini yang membuat UKM kita kadang tak mampu. Padahal, modal surat pesanan itu saja tak bisa untuk mengajukan kredit ke bank,” jelas Liliek.

Guna meminimalisasi hal itu, tak jarang pihaknya harus membagi para perajin itu sesuai dengan kelompok dan produk yang dihasilkan. Ini agar ketika ada pesanan, perajin yang tak memiliki modal bisa tetap mengerjakan pesanan, dengan jalan kemitraan.

“Yang mendapat order atau perajin yang mampu menyiapkan bahan baku bisa disubkan ke perajin lainnya. Dengan begitu, order tetap jalan dan bisa dikerjakan sesuai target waktu,” papar Liliek. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar