Senin, 22 November 2010

Bisnis Warisan yang Membuahkan Hasil


Bordir tak hanya cantik melekat di pakaian tubuh. Alas kaki pun memajangnya nan imut sebagai aksen. Bisnis sepatu bordir memang belum sebeken sepatu kulit. Namun di pasar dan segmen tertentu, bisnis ini bisa sangat menjanjikan.

Bagi Cicilia Awang Purna Rina Samodra atau akrab disapa Rina, 33, usaha sepatu bordir berawal dari ide mamanya yang memang suka produk yang unik-unik.

“Tahun 2003 pelaku usaha sepatu bordir tidak seperti sekarang. Almarhum mama saya melirik peluang ini. Buktinya, dalam beberapa tahun ke depan hasilnya memang menjanjikan,” ujarnya mengawali cerita, Kamis (15/7) malam.

Kala itu, model pemasarannya lewat jaringan teman dan saudara, serta aktif mengikuti pameran di dalam negeri maupun luar negeri, seperti Belanda, Prancis, Maroko. Orderpun mengalir. Ia tak hanya melayani pemesanan di Surabaya dan sekitarnya, tapi juga luar pulau.

“Ekspor memang belum dalam jumlah besar karena ketika pameran di luar negeri selalu bawa banyak sepatu dan laku. Tahun ini kita ingin jajagi ekspor ke Australia,” ujar lulusan Teknik Sipil Royal Melbourne Institute of Technology University (RMIT), saat ditemui di gerainya City of Tomorrow (Cito).

Bisnis sepatu bordir ini merupakan usaha sampingan bagi keluarganya. Sehari-hari, wanita yang sempat menetap di Australia sejak kelas 2 SMA hingga lulus kuliah ini, bekerja di perusahaan kontraktor.

“Kakak dan kedua adik saya tinggal di Australia. Tidak ada yang meneruskan usaha mama. Akhirnya saya pulang ke Surabaya ngurusi bisnis ini dan kalau pagi bekerja di perusahaan kontraktor,” ujar anak ke-2 dari empat bersaudara ini.

Untuk memantapkan usahanya, almarhum mama akhirnya membeli sebuah stan di Cito seharga Rp 400 juta pada 2006. Stan itu diberi nama Jewuskha, yang dalam Bahasa Rusia berarti perempuan.

“Yang pilih nama stan itu adalah almarhum papa. Sengaja tidak sewa karena itung-itung buat investasi bersama,” aku arek Suroboyo kelahiran 11 November 1977, yang kini menanti kelahiran anak pertamanya.

Penjualan melalui gerai Jewuskha rata-rata 10 pasang per hari, belum termasuk orderan khusus dari distributor. “Selama ini, sepatu model dewasa lebih banyak pembelinya,” ungkap Rina.

Saat ini, dengan menggandeng 10 perajin Bangil, Rina memroduksi rata-rata 500 pasang sepatu per bulan. Jumlah ini di luar order grosiran. Harga jualnya mulai Rp 65.000 (sepatu anak wanita), Rp 70.000 (sepatu wanita dewasa motif biasa) dan Rp 75.000 (sepatu wanita dewasa motif bordir terawang). Untuk ukuran sepatu anak mulai 22-33, ukuran dewasa mulai 34-43.

“Modal awalnya dulu Rp 10 jutaan, sekarang sudah berkembang. Tapi sejak dulu sampai detik ini tidak ada niatan untuk pinjam bank karena prosedurnya pasti ribet. Kita atasi pakai modal keluarga dulu,” imbuh Rina.

Ia mengakui, dibukanya kran perdagangan bebas sempat membuatnya ketar-ketir. Sepatu-sepatu China sangat murah. Banyak orang yang masih berburu harga dibandingkan model atau kualitas.

“Apalagi sepatu saya menyasar segmen middle. Jadi, kita harus rajin berinovasi motif dan modelnya. Rajin hunting di dunia maya. Untung saja bahan bakunya keseluruhan dari lokal jadi biaya produksi bisa ditekan,” terang Rina.

Ke depan, wanita berpostur tomboy ini akan mengembangkan pemasarannya dalam bentuk website. “Nanti akan kita buatkan website, karena selama ini konsentrasi saya masih di pekerjaan utama di kontraktor, jadi bagi waktunya ngurusi website masih sedikit repot,” pungkasnya. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar