Selasa, 23 November 2010

Dari Susah Cari Modal, Sekarang Banjir Pinjaman

Bisnis kerajinan berbahan dasar kayu bisa jadi merupakan bisnis yang tak lekang oleh zaman. Kerajinan kayu memiliki segmen pasar yang cukup loyal. Inovasi dan keunikannya juga membuat produk kerajinan ini tetap diakui pasar.

Bagi Sumarwan alias Linggo, menekuni bisnis kerajinan kayu berawal dari kegemarannya melancong ke Bali. Dari sanalah ia terinspirasi untuk belajar ilmu mengolah kerajinan kayu.

“Awalnya cuma bikin cincin kayu, lalu gelang kayu, kemudian berkembang membuat wadah-wadah multifungsi dari kayu, serta aneka hiasan dari kayu,” ujar pria kelahiran Situbondo 36 tahun lalu, ditemui di sela Pameran Aneka Kerajinan Garmen dan Produk Kulit di Gramedia Expo, Kamis (26/8).

Biasanya, ide baru muncul setelah melihat bentuk kayu mentahnya. “Baru bisa diproses kalau sudah melihat model kayunya. Sebab tidak semua kayu cocok untuk dibuat cincin atau gelang atau wadah-wadah itu,” jelas bapak satu anak ini.

Khusus untuk wadah kayu biasanya dibuat dari kayu jati, ada pula yang dibikin dari kayu kelapa. “Ide biasanya muncul spontan. Kadang saya nyari dari internet, lalu saya terapkan di produk-produk,” paparnya.

Linggo, perajin yang memiliki galeri Mentari di Situbondo ini memulai bisnis kerajinan kayunya sejak 1996. Modal awalnya dulu cuma Rp 2 juta, kini omzetnya mencapai Rp 200 juta per bulan.

“Semunya melalui proses yang panjang, tidak instan. Jatuh bangun karena ditipu dan usaha nyaris gagal pun pernah saya lalui. Tapi saya yakin, bisnis ini potensi market-nya masih sangat besar. Terbukti, orderan saya tidak pernah berhenti,” ujarnya meyakinkan.

Linggo kini sudah memasarkan produk kerajinannya ke berbagai kota antara lain, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar, Jakarta hingga Ambon. Wadah kayu multifungsinya tidak hanya untuk pajangan dan aksesoris, melainkan juga bisa sebagai wadah makanan.

“Dulu cari modal susah, tapi setelah usaha berkembang banyak pihak yang tertarik memberi pinjaman, mulai BUMN sampai perbankan. PTPN, Semen Gresik dan PLN di antaranya yang pernah mengucuri pinjaman bunga lunak dari dana PKBL sebesar Rp 15 juta. Tenornya cuma setahun, bunganya hampir tidak ada karena sangat kecil,” jelas Linggo.

Saat ini, Linggo memiliki 40 karyawan lepas yang siap membantu memenuhi orderannya. Tapi, kalau orderan melimpah tentu jumlahnya lebih banyak lagi.

“Ini karena saya bedakan antara karyawan yang bagian motong, bagian ngamplas, ngukir, dan ngecat. Mereka punya keahlian sendiri-sendiri dan garapan bisa dikerjakan di rumah masing-masing. Itung-itung ikut mengkaryakan warga di kampung,” ujarnya sumringah.

Sayang, promosinya selama ini masih dilakukan secara manual, antarteman, kenalan dan melalui pameran. “Nantinya akan saya bikin website sendiri agar pemasarannya lebih luas. Namun tentunya saya juga harus memikirkan ketersediaan bahan bakunya. Kalau demand sudah tinggi, stok bahan baku tidak ada kan sayang juga,” kata Linggo.

Produk yang ia jual rata-rata harganya cukup terjangkau. Untuk wadah kayu biasa dijual Rp 30.000-40.000, untuk wadah kayu jati Rp 30.000-50.000, wadah kayu ukir Rp 75.000, telur hias dari kayu Rp 20.000, aneka gelang kayu Rp 3.000-20.000. “Tapi kalau belinya grosir tentu harganya akan lebih murah,” ucapnya.

Penjualan produk kerajinan kayu ini, diakuinya, tak banyak terpengaruh dengan dibukanya kran perdagangan bebas ACFTA. “Penggemar kerajinan kayu orang-orangnya cukup loyal. Meskipun ada sebagian orang Indonesia yang luar negeri minded, tapi jangan salah bahwa turis-turis asing juga sangat menyukai produk kerajinan kita. Sekali borong, jumlahnya sangat besar,” pungkas Linggo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar