Selasa, 23 November 2010

Kue Kering, Renyah di Mulut Ringan di Kantong



Berlebaran tanpa kue kering rasanya tak afdol. Tradisi bertahun-tahun, suguhan kue kering menjadi wajib ada di tengah kebersamaan keluarga, saudara, teman dan tetangga, saat merayakan hari nan fitri. Penjual kue-kue kering pun memanfaatkan momen ini untuk meraup rupiah.

Bagi Sulastri, 29, tradisi membeli kue kering Lebaran sudah turun-temurun dilakukan keluarganya sejak ia masih kecil. “Saya sudah punya langganan sendiri, tetangga saya di daerah Bronggalan Sawah. Perpaduan resep kuenya pas. Meski harganya agak sedikit mahal dibandingkan yang dijual di toko, tapi rasanya memang lebih enak,” kata karyawan sebuah perusahaan kontraktor ini.

Sekali borong minimal Rp 500.000 terdiri dari beberapa item kue. “Kebetulan saya keluarga besar, jadi ada yang saya konsumsi sendiri dan ada yang saya berikan keluarga suami. Saya tinggal di rumah ibu dan ibu saya anak sulung, sementara saya anak bungsu pasti ramai kalau Lebaran,” ujar ibu dua anak ini.

Kebutuhan kue kering tidak saja dipakai hanya saat Lebaran, tapi memasuki Ramadan sudah mulai dikonsumsi untuk buka puasa dan camilan makan sahur. “Jadi, saya sudah beli sejak minggu lalu. Selain pesan tetangga, ada juga yang saya beli di Pasar Atom. Belanja banyak tak apa, karena menyenangkan orang kan bisa menyenangkan diri sendiri,” ucap Sulastri sumringah.

Salah satu pembuat kue kering adalah Hasti Utami, pemilik Bunga Bakery. Semula, menurut pengakuannya, kue kering buatannya tidak untuk dikomersialkan. Kue-kue itu khusus untuk konsumsi sendiri bersama keluarga.

“Tapi, karena banyak yang menyarankan akhirnya iseng-iseng saya tawarkan ke tetangga dan teman-teman di lingkungan kerja. Ternyata permintaannya diluar dugaan. Kue saya banyak dipuji,” aku wanita kelahiran Jember, 29 Agustus 1981 ini.

Namun, tidak seperti kue kering pada umumnya, kue buatan Hasti terbilang unik. Mengangkat tema scary cake yakni berupa kue-kue kering horor macam bentuk tengkorak, pemakaman, jari berdarah, pocong, dan lain-lain.

“Saya ingin beda saja. Selama ini kue Lebaran bentuknya kan gitu-gitu aja. Keponakan saya iseng nyuruh saya bikin kue yang aneh-aneh. Maka muncullah ide ini,” kata wanita yang baru saja resign dari perusahaan tepung terigu.

Modal awalnya cuma Rp 3 jutaan. Ia tak perlu beli peralatan dan perlengkapan untuk membuat kue karena semua dipinjami para pelaku UKM kue binaan perusahaan tempat ia dulu bekerja. Kebetulan saat itu, ia di posisi Customer Relation UKM.

“Saya hanya bikin kue pas Lebaran karena diluar masa itu saya ngurusi pekerjaan kantor. Sekarang promosinya terbantu lewat facebook jadi pemesanannya lebih luas. Tapi ya gitu, saya jadi pusing banyak menerima pesanan, sementara jumlah tenaga terbatas,” sambung alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, Universitas Jember ini.

Bahkan, ia sengaja pasang harga mahal saat iseng promosi di jejaring sosial. Per toples ukuran 500 gram harganya mulai Rp 60.000. Semakin rumit bentuk kuenya, semakin mahal harganya. Ini karena kuenya harus dibuat satu per satu secara manual dengan tangan. “Kalau dengan alat cetak kan gampang, nah ini dibentuk satu per satu pakai tangan,” terang Hasti.

Ibu satu anak inipun tak khawatir kue horornya tak laku. “Meski ibu saya saja nggak mau makan, tapi terbukti banyak pemesan. Bahkan orang-orang dari luar negeri juga ada yang pesan, tapi untuk dikirim ke teman dan saudara mereka yang ada di Indonesia. Ini berarti potensi pasarnya bagus,” timpal Hasti. Omzet jualan kue menjelang Lebaran pun ditaksir tak kurang dari Rp 20 juta.

Pelaku UKM lainnya, Noor Shobah juga mengamini jika bisnis kue kering mendekati Lebaran sangat menguntungkan. “Diluar Lebaran, saya tidak jualan. Saya bikin dadakan memasuki bulan puasa. Sejak 2002 ketika tinggal di Jakarta saya sudah bikin, tapi brownies kering dengan topping cokelat. Dipasarkan ke teman-teman sendiri,” akunya.

Namun sejak pindah ke Surabaya, wanita kelahiran Lamongan 8 Juli 1974 ini berniat serius menekuni usahanya dengan mengambil kursus cake di kawasan perumahannya di Sidoarjo. “Keahlian saya bikin cake, tapi akhirnya saya pilih kue kering karena penjualannya lebih cepat,” lanjut mantan Guru Bahasa Indonesia SMP dan SMA ini.

Noor yang dulu menempuh pendidikan di IKIP Malang Jurusan Bahasa Indonesia ini mengaku, awal usahanya membuat kue sempat berkali-kali gagal resep. “Saya banyak mengoleksi buku resep kue, saya coba kalau gagal saya makan sendiri dan diberikan tetangga. Kalau sudah berasa enak barulah saya jual. Biasanya ke teman-teman kantor suami saya,” urai ibu seorang putri ini.

Dari modal awal Rp 500.000, sekarang omzetnya bisa tembus puluhan juta. Per hari, pemilik kue merek Bunda ini bisa bikin 20 toples kue dengan memanfaatkan 5 kilogram tepung terigu.

“Impian saya, saya ingin buka toko bahan kue atau penyalur bahan kue. Jadi, tidak sekadar jualan kue tapi suplai bahan. Karena jika bahan baku bisa murah maka perolehan marjin bisa lebih besar. Toko kecil-kecilan lah, tapi itu nanti kalau sudah ada rezeki karena investasinya minimal Rp 50 juta,” pungkas Noor. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar