Senin, 22 November 2010

Laba Kerupuk Terung Semakin Kriuk

Laba mengolah terung, teripang dan lurjuk, sebagai snack kian gurih. Bahan baku melimpah sesuai musim. Siapapun bisa mencoba meski mengolahnya gampang-gampang susah. Tergantung dengan panas matahari.

Mencari snack khas pesisir ini tak terlalu sulit di Surabaya. Di pasar tradisional sampai moderen bisa dijumpai.

Distribusinya memang sudah menjangkau ke seluruh wilayah. Meskipun gudang bahan bakunya di Pantai Kenjeran dan Madura, namun jangkauannya sampai Sidoarjo, Gresik dan Lamongan.

Harganya juga bervariasi, tapi yang jelas tidak terlalu mahal. Ini mengingat kemasan makanan ini ala kadarnya. Proses pembuatannya juga tidak memerlukan perangkat memasak yang canggih.

Bagi Hajah Sateni, era kejayaan bisnis snack hasil laut ini sekitar 10 tahun lalu. Sekarang, pelakunya sudah sangat banyak. Di Kelurahan Sukolilo saja, ada sedikitnya 10-15 orang pelaku usaha.

“Mereka bukan nelayan murni, karena ambil bahan bakunya rata-rata dari nelayan atau pengepul Madura, lalu digoreng sendiri pakai pasir. Setelah digoreng pasir, ada yang langsung menggorengnya dengan minyak goring, kemudian mengemasnya dalam plastik. Tapi ada pula yang hanya goreng pasir sendiri, lalu dikemas oleh orang lain,” jelas Sateni.

Bisnisnya berantai. Bisa menghidupi banyak orang. Tidak ada warga yang melakukan semua fungsi pengolahannya seorang diri. Mulai menjaring hewan di laut sampai dengan pengamasan dan pemasaran.

Nelayan (A) hanya menjaring dan mengumpulkan, tidak melakukan pengemasan. Hasil laut yang masih mentah dipasok ke penduduk (C) yang membuka usaha pengolahan terung, teripang, lurjuk. Tapi sebelum dipasok ke (C), ada kelompok warga (B) yang bertugas khusus membersihkan dan mencuci hasil-hasil laut tersebut.

Dari kelompok penduduk (C) ini proses penjemuran berjalan 1-2 hari untuk kemudian masuk proses penggorengan pasir. Biasanya, setelah dari kelompok (C) masuk ke kelompok (D), yakni warga yang menggoreng hasil gorengan pasir dengan minyak goreng (migor) untuk siap dikemas dalam plastik.

Tapi ada pula yang tidak melalui kelompok (D), karena penduduk di kelompok (C) langsung menggoreng sendiri dengan migor lalu mengemas dan menjual secara eceran di toko-toko dan pasar. “Kalau saya beli langsung dari pengepul atau nelayan, lalu ngupahin orang untuk mencuci dan membersihkan, proses selanjutnya semua saya tangani sendiri,” lanjut wanita 48 tahun ini.

Permintaan kerupuk hasil laut sangat ramai jika mendekati Lebaran. Kalau di hari-hari biasa, cukup dipasarkan di pasar-pasar tradisional dan toko-toko yang ada di Pantai Ria Kenjeran.

Kalau lagi musim, harga jual teripang kemasan Rp 100.000/kg, terung mulai Rp 100.000-150.000/kg dan kerang lurjuk Rp 7.500/kg. Musim terung dan teripang jatuh di Bulan April-Mei, kalau kerang lurjuk dan udang kecil Mei-Agustus. Diluar musim, harga kerang lurjuk bisa Rp 20.000/kg.

Harga terung basah dari nelayan Rp 1.500-2.500/kg, harga teripang basah Rp 2.000/kg. Satu ton terung basah jika dikeringkan hanya bisa menghasilkan 12 kg terung kemasan, jika terik matahari panas bisa menjadi 16 kg.

”Jangkauan pemasarannya di toko-toko dan pasar tradisional. Setiap minggunya saya bisa memasok rata-rata 3-6 kg terung, demikian untuk teripang dan lurjuk. Serapan terbesar di Pasar Genteng dan Pasar Larangan Sidoarjo,” imbuhnya.

Bagi Sri Sudiarti, salah satu konsumen penggemar kerupuk hasil laut, memborong kerupuk terung dan teripang biasanya hanya dilakukan menjelang Lebaran. Itu karena sudah menjadi tradisi menjamu para tamu dan keluarga.

“Sebetulnya yang namanya kerupuk terung memang tidak ada kaitannya dengan Lebaran. Harganya di musim Lebaran juga lebih mahal dibandingkan hari-hari biasa karena selain tidak musim, permintaan juga tinggi. Tapi rasanya lebih pas aja, kalau dimakan pada momen itu,” kata Sri.

Sekali borong di Pasar Tambak Rejo bisa sampai lima kilogram untuk jenis kerupuk terung, teripang, dan kentang-udang. Biasanya langsung habis tidak sampai dua minggu. Hasil laut biasanya kaya protein. Tapi nilai gizinya secara detil tidak tahu.

“Sebetulnya memang kurang sehat karena prosesnya digoreng pakai minyak, kandungan kolesterolnya jadi tinggi. Tapi ini kan sifatnya camilan tahunan dan tidak dikonsumsi setiap bulan, jadi tidak masalah,” jelas wanita 55 tahun ini.

Berburu camilan kerupuk terung dan teripang menjelang Lebaran sangat mudah. “Di pasar tradisional pasti jual. Tapi kalau mau harga yang agak miring, bisa beli langsung di pusat pengolahannya di daerah Kenjeran. Kalau beli dalam jumlah besar pasti dapat harga lebih murah,” urai Sri Sudiarti.

Omzet Rp 10 Juta/Minggu

Sateni mengungkapkan, untuk mempersiapkan tingginya permintaan menjelang Lebaran, biasanya ia menyetok beberapa ton yang sudah digoreng pasir. Omzet rata-rata per minggu diluar Lebaran di kisaran Rp 5-10 juta. Kalau Lebaran bisa tembus Rp 25 juta.

“Tapi keuntungan bersihnya tidak pernah dihitung karena modalnya diputar lagi buat beli bahan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Sateni, yang memulai usaha dengan modal sendiri dengan modal awal sebesar Rp 300.000.

Bukan hanya untuk membeli bahan mentah terung dan teripang basah, tapi juga untuk kebutuhan pasir, kayu bakar dan migor. Untuk pasir dalam seminggu bisa menghabiskan 25 kg (1 sak), sedangkan kayu bakar yang didapat dari kawasan sekitar ITS per minggu bisa dipasok enam becak atau sekitar Rp 200.000.

“Kalau pakai kompor gas hasilnya tidak bagus, karena suhunya kurang panas. Itu sebabnya saya ambil dari pengepul kayu bakar. Mereka ambil ranting-ranting kering atau kayu sisa proyek bangunan, per becaknya Rp 35.000,” katanya.

Prosesnya menggoreng tergantung matahari. Kalau lagi musim hujan maka proses akan mandeg, karena jika diteruskan maka terung tidak bisa mekar bagus. Pernah ditawari pakai alat pengering praktis dari ITS, tapi hasilnya juga jelek.

“Mesin pengering sifatnya tidak sama seperti matahari, keringnya drastis dan dalam waktu cepat sehingga malah mengkerut. Kalau digoreng pasir di bawah terik matahari keringnya bisa pelan-pelan jadi hasil mekarnya bagus,” beber Sateni.

Sampai saat ini, usaha yang dijalani Sateni bersama suami dan dua anak angkatnya belum dilirik oleh perbankan. “Cuma dijanjiin dari dulu. Untungnya saya sendiri punya modal,” kata wanita yang mengawali usaha ini sebagai buruh penggorengan kerupuk terung pada 1986. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar