Selasa, 23 November 2010

Menjala Laba Olahan Bandeng


Siapa yang tak suka ikan. Selain enak dimakan, hewan air ini memiliki kandungan gizi yang cukup banyak. Ikan juga bisa diolah menjadi beragam makanan. Demikian juga bandeng. Salah satu komoditas andalan Jatim ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk beragam menu dan jenis makanan.

Tak hanya itu, olahan bandeng juga mampu menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Ini karena konsumen atau penggemar olahan bandeng tak pernah sepi. Ny Iswindari misalnya, warga Pulosari, Surabaya ini, boleh dikata hampir setiap pekan selalu berburu makanan bandeng. Entah itu bandeng goreng atau diolah menjadi menu lain yang banyak dijajakan di sejumlah toko oleh-oleh di Sidoarjo dan Gresik.

“Keluarga saya memang penyuka bandeng. Tak jarang kami membeli olahan bandeng, seperti bandeng asap, bandeng presto, otak-otak bandeng atau lainnya,” ulas ibu dua anak ini.

Bahkan, ia sering menjadikan olahan bandeng ituuntuk oleh-oleh atau bekal makanan ketika pergi ke luar kota. “Praktis, dan bisa tahan hingga beberapa hari,” beber Iswindari.

Banyaknya konsumen memang tak lepas dari beragam ide kreatif pelaku usaha bandeng. Salah satu yang memanfaatkan olahan bandeng adalah Djalil. Bersama istrinya, Sutini, pria yang tinggal di Bulu Sidokare, Sidoarjo ini, sudah 20 tahun menggeluti usaha bandeng asap. Bandeng asap merupakan salah satu oleh-oleh khas Sidoarjo.

Disebut bandeng asap karena makanan ini dibuat dari ikan bandeng yang dimatangkan dengan cara diasap. Di rumah yang sekaligus dijadikan tempat produksi dan penjualan, rata-rata Djalil mampu memproduksi 60 ekor per hari. Jumlah itu biasanya langsung habis terjual, karena pria 60 tahun ini hanya memproduksi berdasar pesanan.

“Saya sengaja tak menyetok untuk penjualan, karena saya ingin bandeng asap saya terus fresh. Demikian juga banyak permintaan dari toko, namun saya tak mau kalau hanya sekadar konsinyasi. Meski hanya mengandalkan pesanan, Alhamdulillah ada saja permintaan setiap harinya,” papar pria yang memiliki 4 anak dan 4 cucu ini.

Untuk menjaga kualitas produk dan rasa, Djalil sengaja terjun sendiri mulai pemilihan ikan, pembersihan sisik dan insang hingga pengasapan. Ia pun belum berani mengangkat tenaga kerja.

Ukuran standar yang ia pilih biasanya bandeng mentah dengan berat 0,5-0,6 kilogram per ekor. Untuk pengasapan, ia sengaja membuat oven besar yang mampu dimasuki 50-60 bandeng secara menggantung. Di ujung oven diberi cerobong untuk jalan keluar asap. Pengasapan biasanya dilakukan selama 4-5 jam.

Djalil biasanya menjual bandeng asapnya dengan harga Rp 48.000 per kilogram. Ia juga menyertakan saos yang terbuat dari kecap dan petis. Pembeli bandeng asap olahan Djalil tak hanya dari Sidoarjo dan Surabaya saja, namun banyak juga dari luar kota dan luar pulau. Bahkan, sebagian adalah pesanan dari pelanggannya di Australia, China, hingga Singapura.

“Saya ingin terus mempertahankan usaha ini sebagai produk khas Sidoarjo. Untungnya keluarga juga mendukung, bahkan anak-anak mulai merintis beberapa kreasi produk kerupuk berbahan bandeng dan bahan lainnya,” jelas Djalil.

Selain olahan asap, bandeng juga dibuat kreasi yang lebih modern, yakni crispy. Sulaihan adalah sosok yang sukses mengenalkan olahan ini. Bahkan, produk bermerek ‘Maharani Crispy’ ini telah memiliki pelanggan dari berbagai daerah seperti Surabaya, Malang, Mojokerto, Nusa Tenggara, Bali, Balikpapan, bahkan Singapura.

“Sebagian besar pembeli memesan untuk oleh-oleh. Jadi saya sering mengantar pesanan ke bandara, sehingga bisa langsung dibawa,” kata Sulaihan, ditemui di rumah sekaligus tempat produksinya di Kalanganyar, Sedati.

Bandeng crispy tak beda dengan makanan crispy lain, seperti ayam crispy. Yang membedakan hanya bentuk, bumbu atau rasa, serta tingkat kerenyahannya. Keunggulan lainnya, bandeng crispy buatan pria 45 tahun ini tanpa duri.

“Duri bandeng harus dicabut dulu sebelum diolah. Memang usaha kita awalnya adalah memasok bandeng tanpa duri ke sejumlah restoran dan pabrik. Empat tahun belakangan ini mulai dikembangkan ke olahan,” ujar ayah dua anak ini.

Dibantu empat orang tenaga kerja, Sulaihan bersama istrinya Dwi Ernie, rata-rata mampu memproduksi sekitar 50 kilogram bandeng segar tanpa duri setiap hari. Tak hanya bandeng crispy, ia juga mengolah bandeng tanpa duri tersebut untuk beragam makanan mulai bandeng presto, otak-otak bandeng, penyet bandeng, hingga bakso bandeng.

Sisa duri tak dibuang begitu saja, namun ia manfaatkan dengan diolah sebagai abon. Produk abon duri bandeng yang ia namai abon kalsium ini memang murni kreasi ciptaannya dan belum ada pemain lain. “Kita memang ingin mengangkat citra bandeng sebagai makanan khas Sidoarjo agar memiliki nilai tambah,” ulas pemilik UD Hikmah Artha Makmur ini.

Bandeng crispy olahannya, biasanya dijual Rp 25.000 per ekor/bungkus, sedang otak-otak bandeng dijual seharga Rp 10.000-20.000 per bungkus.

Beragam produknya mulai dikenal luas sejak ia dilibatkan dalam berbagai pameran yang digelar oleh Dinas Kelautan dan Peternakan, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jatim. Karena dianggap memiliki prospek pasar, ia pun mendapat kucuran kredit dari salah satu bank BUMN.

“Selain modal kerja, bantuan kredit itu untuk pengembangan usaha. Karena kami juga mengelola sebuah rumah makan di ruko Juanda Business Center,” ungkap Sulaihan.

Ke depan, ia berobsesi terus menciptakan berbagai produk dari bahan bandeng, selain memperluas jaringan pasar. “Ada investor yang men-support dan tahun ini juga kemungkinan kami membuka dua outlet di Surabaya,” imbuhnya. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar