Senin, 22 November 2010

Menyulap Jati Bekas Menjadi Mebel Inlay

Hanya mengandalkan keahliannya melukis dan mengukir, ia mampu menyulap kayu jati bekas menjadi seperangkat mebel dengan motif ukiran khas. Sayangnya, hasil kreasinya yang sempat melanglang mancanegara, kini harus kembali menggarap pasar domestik setelah terimbas Bom Bali I.

Kayu jati bekas rumah kuno ternyata bisa didayagunakan. Justru berawal dari me-lelesi barang lawas ini, Nurrohman, 45, mampu eksis hingga saat ini sebagai perajin mebel ukir, mulai kursi, meja, ranjang hingga lemari.

Menurut warga Desa Pocong, Kecamatan Trageh ini, kayu jati bekas dari rumah-rumah kuno yang ada di Madura mempunyai daya tarik tersendiri untuk dijadikan perangkat mebel. “Tambah tua, jati itu semakin kuat. Karena sudah sangat kering betul,” ujar Nurrohman.

Awal 1994, ia mencoba mengumpulkan kayu jati bekas dari salah satu rumah kerabatnya, untuk dibentuk menjadi sebuah lemari. Bermodal keahlian melukis dan mengukir, Nurrohman mulai memberi sentuhan berupa gambar motif ukir.

Namun, usahanya tidak berjalan lancar. Pasalnya, bahan yang digunakan untuk menggambar pada lemari buatannya, luntur. Ia memutuskan membuat ukiran menggunakan alat menyerupai pisau kecil yang disebut pahat kayu. Pahat inilah yang dijadikan ‘pena’ untuk mengukir dengan kedalaman mencapai dua milimeter.

“Di bekas pahatan yang dijadikan motif ukiran itu kami masukkan kayu tipis. Sehingga, motif ukiran akan nampak rata dan tidak muncul benjolan di permukaan kayu,” jelas Nurrohman.

Menurut bapak tiga putra ini, ukiran jenis ini hanya terdapat di pulau Madura. Tepatnya di Desa Pocong, Kecamatan Trageh, Bangkalan. “Di Jepara ada. Hanya motifnya yang mirip. Sedangkan tekniknya beda. Di sana menggunakan dempol mobil untuk bahan motif ukiran,” tuturnya.

Hasil kreasinya ternyata banyak menarik minat warga sekitar. Meski begitu, ia mengaku belum mempunyai sebutan yang pas untuk ukiran dengan teknik seperti itu. Dalam benaknya, yang ada hanya memproduksi pesanan warga sekitar yang mulai suka dengan gaya dan teknik ukirannya.

Nama inlay yang akhirnya dilekatkan pada produknya, itu pun terjadi secara kebetulan. Bermula ketika ia kedatangan beberapa wisatawan asing yang mengunjungi rumahnya untuk melihat langsung pembuatan mebel ukirannya.

Salah seorang turis yang terlihat tertarik, memelototi motif kembang yang terpasang pada lemari jati milikya. “Ia (turis, Red) tidak percaya bahwa motif bunga itu ditancapkan ke permukaan kayu. It’s a lie (sebuah kebohongan). Dasar saya tidak bisa bahasa Inggris, saya dengarnya inlay. Ya udah, ukirannya saya namakan inlay,” jelas Nurrohman, yang masih terkenang dengan para turis itu.

Sejak itu, usaha ukiran inlay miliknya terus meningkat. Bahan baku datang dari warga yang menjual kayu jati bekas rumah kepadanya. Meski demikian, ia sering kewalahan mencari bahan baku karena banyaknya permintaan. Bisa dibayangkan, dalam sebulan, ia bisa mengirimkan satu truk ke Bali senilai Rp 60 juta. “Saya punya mitra di Bali. Mereka menjual ke Eropa dan ke Amerika,” katanya.

Soal pegawai, ia mengaku tidak mengalami kesulitan. Ini karena 90 persen warga desanya adalah perajin ukiran inlay. Akan tetapi, mereka sekarang tidak bekerja karena pesanan sedang menurun. “Saat ini hanya 10 orang saja. Tapi jika banyak pesanan, bisa lebih dari 30 orang,” ujar perajin yang belum membuka gerai khusus untuk usahanya.

Usahanya tidak selamanya lancar. Ketika bom Bali I mengguncang pada 2001, pesanan dan pengiriman mebel ukirannya terhambat. Semua mitranya di Bali banyak menghilang. Agar usahanya tetap jalan, kini ia kembali melayani pesanan lokal atau dari dalam Madura.

“Dalam sebulan, ia mampu menyelesaikan satu set untuk satu jenis produk. Per set bisa terjual Rp 5 hingga 5,5 juta,” ujarnya. Satu set terdiri dari kursi tamu tiga dudukan, dua dudukan dan satu dudukan, beserta satu meja.

Selain perangkat kursi tamu, Nurrohman juga menjual satu unit lemari ukiran inlay yang dijual Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per unit. Sedang satu unit sofa, ia jual Rp 2 juta per unit. Ia mengakui, modal untuk pengembangan usaha menjadi kendala utamanya, di luar peralatan yang serba tradisional. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar