Senin, 22 November 2010

Merangkai Untung dari Pernak-Pernik Aksesori

Selalu tampil menarik menjadi idaman setiap wanita. Ini pula yang diinginkan Linda dalam setiap penampilannya. Sayangnya, keinginan itu selalu berbenturan dengan budget (anggaran belanja) produk perlengkapan fashion, berikut aksesorinya yang rata-rata cukup mahal.

“Baju yang menarik dan bermerek sekarang cukup mahal, belum lagi perhiasan emas. Bayangkan, berapa duit dibutuhkan hanya untuk memoles penampilan,” seru Linda, wanita berusia 35 tahun ini.

Namun, akhirnya ia menemukan jawaban, ketika sedang bersama teman-teman sekantornya berjalan-jalan untuk mencari makan di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya. Saat itu, ia tertarik dengan deretan aksesori kalung dan gelang berbahan manik-manik dan batu-batuan di salah satu gerai.

Sekilas, Linda memperkirakan harganya pasti lumayan mahal. Tapi, sekejap kemudian ia menjadi tercengang dengan harga aksesori yang ternyata cukup murah. Berkali-kali ia coba satu-persatu kalung dan gelang ke leher maupun tangannya.

“Cocok, tinggal menyesuaikan dengan busananya. Harganya sangat terjangkau, tapi terlihat cukup elegan,” ucap marketing di salah satu perusahaan asuransi ini. Ia pun memilih beberapa aksesori seperti kalung dari batu-batuan, gelang manik-manik, hingga bros. Kisaran harga mulai Rp 5.000-an.

Linda merupakan salah satu bukti bahwa potensi pasar pernak-pernik aksesori wanita cukup besar. Tak hanya segmen menengah bawah, menengah atas pun tak sedikit yang menyukai aksesori yang sebagian besar masih diproduksi perajin rumahan ini.

Seiring meningkatnya permintaan, produk ini mulai banyak dijumpai di beberapa pusat perbelanjaan. Salah satu wanita yang memanfaatkan peluang pasar ini adalah Oky Mia Octaviany. Ia membuat sendiri aneka aksesori seperti gelang, tas, anting, bros, dan hiasan jilbab berbahan bebatuan dan manik-manik, yang dirangkai dengan kawat, senar atau benang.

Sebenarnya, ia mengaku tak sengaja menggeluti usaha itu. Sekitar tahun 2000, ketika ia mulai mengenakan jilbab, ia merasa kesulitan ingin tampil modis dengan busana itu. Padahal, Oky selama ini sangat menyukai aksesori sebagai pelengkap berbusana.

“Saya kemudian memutar otak bagaimana menciptakan aksesori yang bisa dipakai wanita berjilbab. Akhirnya, saya mencoba membuat kalung dari bebatuan untuk dikenakan sendiri,” ungkap wanita kelahiran Surabaya 12 Oktober 1971 ini.

Ternyata, saat ia mengenakan kalung itu di sebuah acara, Oky banyak dipuji teman-temannya. Bahkan mereka berminat untuk membeli. Dari sini Oky kemudian tertantang membuat aneka aksesoris lainnya, dan menamakan produk buatannya ‘Peniti’.

Keunikan aksesori buatan Oky, yakni menggunakan bahan batu-batuan dan manik-manik. “Saya mengeluarkan dana Rp 1 juta untuk membuat usaha ini. Murah meriah tapi menghasilkan,” ungkap istri Banyon Anantoseno yang juga mengembangkan usaha busana Muslim ini.

Dalam sehari, ia mampu menghasilkan 25-30 item aksesoris. Untuk satu item aksesoris, rata-rata membutuhkan biaya Rp 1.000-100.000 tergantung bahan dan kesulitannya. Dari ongkos produksi tersebut ia bisa mendapatkan keuntungan antara 30-50 persen.

“Menggeluti usaha seperti ini modalnya hanya tekun dan tidak patah semangat,” terang ibu dua anak yang masih memanfaatkan ajang pameran untuk menjual produknya ini. Untuk menambah konsumen, ia banyak dibantu Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) daerah Surabaya.

Ia sadar, produk yang dihasilkan harus bersaing dengan produk lain yang sejenis. Namun untuk yang satu ini, Oky terus berupaya melakukan inovasi terhadap model dan desain. Untuk itu, mau tak mau, Oky banyak menghabiskan waktu keluyuran ke mal-mal di Jakarta dan Surabaya, hanya sekadar melihat model aksesori yang kemudian ia kembangkan dengan ide sendiri.

“Menciptakan model yang disukai sangatlah penting, apalagi saat ini banyak aksesori dengan harga terjangkau dari China,” ujar Oky, yang mengaku rata-rata bisa membukukan omzet penjualan Rp 5-10 juta per bulan.

Tak hanya pasar lokal, beberapa pembeli asing seperti, Arab Saudi dan Eropa, mulai tertarik dengan produk penulis buku ‘Cantik & Gaya dengan Bros’, serta ‘Cantik dengan Rangkaian Manik dan Batu’ ini.

Cerdik Bidik Segmen

Dian Wicaksono, perajin UKM berbahan dasar logam binaan Dekranasda Surabaya mengatakan, potensi berkembangnya aneka kerajinan dan aksesori masih cukup besar. “Pasar domestik untuk produk kerajinan sangat terbuka. Tinggal bagaimana si perajin cerdik membidik segmen,” katanya.

Soal bahan baku, ia menyebut cukup berlimpah karena produk kerajinan bisa berasal dari apapun, mulai logam, pelepah pisang, daun kering, rotan, kayu, batok kelapa, batu dan manik-manik, pita, kain barik hingga kertas kardus.

Ia pun membocorkan salah satu kiat agar produk kerajinan dan souvenir bisa memiliki pasar. Kalau segmennya wisatawan, sebaiknya produk yang dibuat ada logo khas Surabaya. Kalau segmennya rumah tangga, bisa berupa pernak-pernik interior. Harganya tergantung segmen yang dibidik.

“Pemilihan bahan baku sesuaikan dengan budget dan siapa sasarannya,” lanjutnya.

Langkah awal pemasaran bisa melalui website atau langsung melalui beragam pameran atau dititipkan pada toko-toko yang menjual kerajinan khas. Apabila modal sudah mencukupi, langkah ekspor tidak ada salahnya ditempuh.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perajin Jatim (APJ), Liliek Noer mengakui, potensi pasar produk kerajinan cukup luas, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri. Untuk pasar lokal, produk aksesoris seperti kalung, gelang, atau bros, cukup mendapat animo pasar, mengingat sekarang ini kaum wanita banyak yang gandrung terhadap pernik-pernik buatan tangan.

“Untuk pasar luar negeri, banyak juga produk kerajinan asal Jatim yang diminati, seperti aksesori untuk interior rumah atau peralatan ringan untuk rumah tangga,” sebutnya.

Uniknya, lanjut Liliek, sebagian besar produk kerajinan itu dihasilkan oleh tangan-tangan terampil kaum wanita. Ini dinilainya sangat luar biasa, mengingat awalnya mereka melakukan hanya sekadar membantu perekonomian keluarga. Tak jarang mereka akhirnya menjadi penopang keluarga.

Meski begitu, ujar Liliek, perajin tetap butuh arahan dan pendampingan, mengingat rata-rata mereka adalah tradisional, yang awam akan manajemen, kualitas, dan persaingan di pasar.

“Oleh karena itu, kepedulian semua pihak diperlukan, seperti perbankan untuk akses modal, pemerintah untuk pelatihan-pelatihan, dan komunitas atau asosiasi untuk membantu mencarikan akses pasar,” imbuhnya. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar