Senin, 22 November 2010

Naik Mal, Laba Minuman Cincao Kian Kenyal


Bisnis minuman olahan berbahan dasar camcao alias cincau naik kelas. Kalau dulu hanya kerap dijumpai di pinggir jalan diusung para pedagang kaki lima (PKL), kini cincao hadir di mal-mal. Laba bisnis minuman cincao pun semakin kenyal.

Bagi Samuel Kristanto, 31, membuka gerai Q-Cao di awal 2009 berawal dari ide sang istri yang sejak awal menyukai makanan dan minuman sehat.

“Istri saya doyan berburu makanan dan minuman sehat. Tidak hanya vegetarian, tapi untuk minuman pun dia cukup selektif,” ujar Samuel, ditemui di salah satu counter Q-Cao miliknya, di Hi-Tech Mal, Jumat (4/6).

Setelah lima tahun menekuni bisnis printing dan perlengkapan komputer ForUs Ink di Hi-Tech Mal, Samuel dan istrinya, Peggy Lidya, 24, melakukan diversifikasi usaha di bidang minuman.

“Bahan-bahannya seperti daun cincau hijau langsung didatangkan dari Bandung. Kita olah sendiri sampai setahun, trial and error maka jadilah resep Q-Cao seperti sekarang ini,” jelas alumnus Teknik Elektro UK Petra ini.

Tanaman cincau atau dalam Bahasa Latin Cyclea Barbata merupakan tanaman merambat dari famili Menispermaceae. Cincau dikenal memiliki kandungan klorofil yang cukup tinggi dan sangat baik mengatasi panas dalam dan sariawan.

Ada empat jenis cincau yang dikenal masyarakat, yaitu cincau hijau, cincau hitam, cincau minyak dan cincau perdu. Daun cincau yang ditumbuk dan dicampur air mampu menghasilkan sativa (lendir) dengan tingkat kekenyalan tertentu jika didiamkan selama beberapa hari.

Usaha di bidang minuman ini memang tak selalu mulus. Namun, berkat keuletan pasangan suami istri ini, gerai Q-Cao yang awalnya hanya di Plaza Marina mulai merambah beberapa mal lainnya, yakni ITC, Plasa Surabaya dan Hi-Tech Mal.

“Niatnya mau buka di Tunjungan Plasa (TP), tapi sewanya di sana selangit. Pingin di Royal Plaza juga, tapi tidak boleh di lantai dasar dekat pintu masuk, harus di food court,” beber Samuel.

Untuk sewa stan di Hi-Tech Mal dikenakan Rp 12 juta per tahun, sedang di di Plasa Marina Rp 32 juta per tahun. Sementara, di TPs ampai Rp 72 juta per tahun. “Sewa mal rata-rata naik 20 persen setiap tahun, sedangkan harga minuman tidak bisa dinaikkan begitu saja karena segmen kita masyarakat di level low end jadi sensitif terhadap harga,” ujarnya.

Untuk setiap gelasnya, ia memang hanya mematok harga Rp 5.000, untuk Q-Cao Taro alias susu ubi ungu Rp 7.000 per gelas. Saat ramai, setiap hari bisa laku 60-70 gelas (rata-rata Rp 300.000-350.000) setiap gerai. Sebaliknya, kalau sepi hanya 30-40 gelas (Rp 150.000-200.000). Jadi, kalau di rata-rata setiap bulan omzetnya kisaran Rp 10 jutaan per gerai.

“Meski omzet mencapai Rp 10 jutaan, ada beberapa gerai yang belum balik modal. Itu sebabnya saya tidak ingin franchise dulu karena ingin mematangkan pola bisnisnya,” ungkap Samuel.

Alasan lain, bapak dua anak ini menghindari franchise, karena sifat alami daun cincau tidak bisa disimpan dalam waktu lebih dari dua hari. “Kalau franchise butuh waktu untuk distribusi barang, khawatirnya malah basi karena rasanya kan harus standar,” imbuh Samuel.

Tahun-tahun pertama membuka usaha, Samuel sempat mengalami pasang surut. “Bahan-bahan yang distok di gerai nggak selalu habis setiap hari. Ada yang bisa disimpan, tapi ada yang harus selalu fresh. Kalau susu kedelai, gula merah cair dan cincau bisa tahan dua hari di lemari es, tapi kalau santan harus fresh setiap hari,” tuturnya.

Meski bisnis Q-Cao mengalami pasang surut, ia mengaku sering menyubsidinya dari bisnis printing dan perlengkapan komputer. Soal permodalan ini, Samuel mengaku, belum akan meminjam dari bank.

“Sejak awal kita pakai modal pribadi, pinjam dari uang hasil keuntungan bisnis printing dan perlengkapan komputer. Tapi nggak tau lagi nanti kalau mau ekspansi lebih besar,” pungkas Samuel. surya.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar